Niat  Ikhlas Adalah Dasar Diterimanya Amal 

Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan, nafsu, dan keduniaan. Niat itu harus ikhlas karena Allah Azza Wa Jalla dalam setiap amal agar amal itu diterima di sisi-Nya. Sebab, setiap amal shalih mempunyai dua syarat yang tidak akan diterima kecuali dengan keduanya, yaitu:

1. Niat yang ikhlas dan benar.

2. Sesuai dengan Sunnah, yaitu mengikuti contoh Nabi  ﷺ.

Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud. Dan dengan syarat kedua, kebenaran lahir akan terwujud.

Tentang syarat pertama, telah disebutkan dalam sabda Nabi ﷺ :

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ.

“Sesungguhnya amal-amal itu hanya tergantung pada niatnya.”

Inilah yang menjadi timbangan amalan batin. Sedangkan syarat kedua disebutkan dalam sabda Nabi ﷺ :

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ.
“Barang siapa yang beramal tanpa adanya tuntunan dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”¹
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ.

“Barang siapa yang mengada-ngada terhadap sesuatu yang baru dalam perkara (agama) kami, dan tidak ada (dalil) dari perkara (agama) ini, maka hal itu tertolak.” ( HR. Bukhari hadits no. 2499, Muslim hadits no. 3242 )

Allah Azza Wa Jalla telah menyebutkan dua syarat ini dalam beberapa ayat, di antaranya:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

بَلٰى مَنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهٗۤ اَجْرُهٗ عِنْدَ رَبِّهٖ ۖ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ. (١١٢)

“Tidak! Barang siapa menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan dia berbuat baik, dia mendapat pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 112)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :

وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّا تَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗ وَا تَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا. (١٢٥)

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan-(Nya).”
(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 125)

Menyerahkan dirinya kepada Allah Azza Wa Jalla artinya mengikhlaskan amal kepada Allah Azza Wa Jalla, sehingga dia beramal dengan didasari iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah Azza Wa Jalla. Sedangkan berbuat baik artinya mengikuti apa yang disyari’atkan Allah Azza Wa Jalla dalam beramal, dan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya berupa petunjuk dan agama yang haq.

Apabila salah satu dari dua syarat ini tidak terpenuhi, maka amalan tersebut tidak sah. Jadi, harus ikhlas dan benar. Ikhlas karena Allah Azza Wa Jalla dan benar mengikuti petunjuk Nabi ﷺ. Zhahir (amalan)nya ittiba’ dan batinnya ikhlas. Apabila salah satu syarat ini hilang, maka amalan tersebut akan rusak. Apabila hilang keikhlasan, maka orang itu akan menjadi orang munafiq dan riya’ kepada manusia. Sedangkan jika hilang ittiba nya-artinya tidak mengikuti contoh Nabi ﷺ maka orang itu tersesat dan jahil (bodoh).”²

Dari uraian di atas, menjadi jelaslah tentang pentingnya peran niat dalam amal. Niat menuntut keikhlasan, dan keikhlasan semata tidak cukup menjamin diterimanya amal selagi tidak sesuai dengan ketetapan syari’at dan dibenarkan oleh Sunnah. Sebagaimana amal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syari’at tidak akan diterima selagi tidak disertai dengan keikhlasan, tidak ada bobotnya sama sekali dalam timbangan amal.

Fawa-id³ Hadits

1. Niat termasuk iman, karena termasuk amal hati. Sedangkan iman menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah ucapan-ucapan hati (keyakinan) dan ucapan lisan, dan amalan hati, lisan dan anggota badan.

2. Wajib bagi setiap Muslim mengetahui hukum dan kedudukan amal yang dilakukan, disyari’atkan atau tidak, wajib atau sunnah, karena amal tidak bisa lepas dari niat yang disyari’atkan.

3. Disyari’atkannya berniat secara sadar dalam amal-amal ketaatan.

4. Amal tergantung dari niat, tentang sah atau tidaknya, sempurna dan kurangnya. Taat dan maksiat.

5. Niat tempatnya di hati bukan di lisan.

6. Melafazhkan niat adalah bid’ah.

7. Amal harus sesuai dengan Sunnah, karena ia termasuk syarat diterimanya amal.

8. Niat yang baik tidak bisa membuat yang haram menjadi halal, yang mungkar menjadi ma’ruf, yang bid’ah menjadi Sunnah.

9. Baiknya tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara.

10. Wajib berhati-hati dari riya”, sum’ah  (memperdengarkan pada orang lain) atau beramal karena dunia, karena akan menghapus amalan yang baik.

11. Manusia senantiasa digoda syaitan sehingga dapat merusak keikhlasan amalnya.

12. Wajib setiap Muslim dan Muslimah memperhatikan perbaikan hati.

13. Allah Azza Wa Jalla  memberikan ganjaran pahala dari amal-amal hamba-Nya tergantung dari niatnya.

14. Hijrah dari negeri syirik/kafir ke negeri Islam adalah ibadah yang utama bila diniatkan karena mencari wajah Allah Azza Wa Jalla, dan wajib hijrah bagi yang tidak dapat melaksanakan ibadah karena Allah Azza Wa Jalla.

15. Keutamaan hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ.

16. Hijrah tetap berlaku selama musuh-musuh Islam diperangi.

17. Adapun hadits nabi ﷺ :

لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ.

“Tidak ada hijrah sesudah Fathu Makkah….”⁴

Maksudnya adalah hijrah dari Makkah ke Madinah, karena sekarang Makkah telah menjadi Darul Islam (Negeri Islam). Wallahu a’lam.

Sebagaiman hadist Nabi ﷺ :

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي مَنْصُورٌ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا.

“Tidak ada lagi hijrah setelah kemenangan (Makkah) akan tetapi yang tetap ada adalah jihad dan niat. Maka jika kalian diperintahkan berangkat berjihad, berangkatlah.” ( HR. Bukhari hadits no. 2575 )

Diriwayatkan Oleh :

1. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2697), Muslim (no. 1718 [18]), Abu Dawud (no. 4606), dan Ibnu Majah (no. 14) dari hadits Aisyah Radiallahu Anhu .

2. Lihat Tafsir Ibnu Katur (11/423), cet. Dir Thayyibah.

3. Fawa-id  adalah rangkuman dari beberapa pelajaran, hikmah dan kesimpulan, serta hukum yang dikandung oleh suatu hadits.

4. Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2783) dan Muslim (no. 1864). 

Kembali ke Halaman Beranda (Utama)

error: Content is protected !! Sorry nih, Gak bisa di copas